Jumat, 12 November 2010

PLURALISME SEBAGAI ESENSI DEMOKRASI


Tema tentang pluralisme atau kemajemukan atau kebhinnekaan seakan tak pernah habis dijadikan sebagai titik sentral dalam wacana dan praksis politik di tanah air. Jika kita menengok ke belakang dalam proses kesejarahan menjadi sebuah bangsa baru, persoalan pluralisme - dalam berbagai manifestasinya - telah menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Bukanlah suatu hal yang kebetulan bila semenjak digulirkannya konsensus nasional pada 1928 oleh kaum muda yang merupakan kristalisasi awal cita kebangsaan baru, sampai saat ini, ketika kita memasuki millennium ketiga, tak dapat diragukan lagi bahwa kebhinnekaan telah menduduki posisi sentral dalam keberadaan dan jatidiri serta bahan baku dari bangsa Indonesia.
Yang tampaknya masih dan akan terus menjadi bahan perbincangan dan permasalahan dalam rangka “menjadi bangsa Indonesia” bukanlah pada posisi tersebut, melainkan manakala pluralisme tersebut harus diletakkan di dalam suatu konteks struktural tertentu, yang di dalamnya terdapat keniscayaan-keniscayaan seperti sistem politik ekonomi yang mau tidak mau mengharuskan adanya penerjemahan dan penafsiran terhadap pluralisme itu sendiri. Maka kendati pluralisme telah diakui sebagai sebuah fakta sosilologis dan antropologis dan bahkan “disakralkan” dalam jargon-jargon ideologis sebagi jatidiri bangsa, toh dalam praktiknya ia tak lepas dari cobaan. Ia bahkan seringkali dicoba dilupakan dan dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai barang haram! Tak heran jika kita dapati dalam perjalanan sejarah selama lebih dari setengah abad di Republik ini, bahwa pluralisme pada suatu saat justru begitu dimusuhi dan oleh negara serta aparatnya dikategorikan sebagai lawan yang harus dienyahkan. Sambil tetap mengucapkan kalimat “bhinneka tunggal ika” dalam ritual politik dan kenegaraan, maka negara melancarkan penggelaran hegemoninya melalui aparat-aparat dan pranata-pranatanya, mulai dari yang yang paling tak kasatmata sampai yang paling vulgar, secara sistematis mencoba menghapus pluralisme dari kesadaran masyarakat dan rakyat.
Hasilnya, seperti sama-sama kita tahu, ternyata wacana dan praksis tentang pluralisme mengalami masa-masa yang sangat suram dalam kurun waktu yang lama, setidaknya selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah Orba. Pluralisme sebagai sebuah kenyataan dan jatidiri menjadi sebuah mimpi buruk yang harus direpressi dari ingatan dan praksis kolektif. Konsekuensinya, perwujudan dari pluralisme dalam berbagai macam bentuknya seperti hak-hak dasar yang berkaitan dengan perbedaan berpendapat, hak-hak kultural kaum minoritas, pemikiran yang dianggap di luar arus utama (mainstream), dsb., seluruhnya dinyatakan terlarang atau minimum harus berada di bawah kategori “diwaspadai”. Di sisi lain, kampanye penyeragaman dengan segala macam manifestasinya, mulai dari penggunaan bahasa yang bernuansa pasif sampai dengan pemasungan hak-hak asasi manusia secara terang-terangan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga politik dilakukan secara gencar dan, tentu saja, penuh dedikasi. Kebhinnekaan, tak dapat dihindarkan lagi, dikorbankan di atas altar persembahan rezim integralistik-otoriter. Siapapun, baik individu maupun kelompok, yang mencoba melakukan kritik atau kendatipun hanya mengingat kembali akan jatidiri ini akan mendapatkan diri mereka berada dalam situasi tidak menyenangkan. Dan sebuah tayangan drama “politik melupakan” (the politics of forgetting) terhadap jatidiri pun berangsung dengan mulusnya di atas panggung perpolitikan nasional!
Dalam kondisi seperti ini, lantas dimanakah wacana dan praksis demokrasi dan demokratisasi berada? Jawabnya tentu sudah jelas: keduanya hanya ada dalam sebuah dunia simulacrum atau realitas maya belaka. Meminjam istilah tokoh pekerja demokrasi di Ceko, Vaclav Havel, mereka telah dibungkus dalam sebuah kemasan baru melalui suatu proses normalisasi kehidupan yang penuh dengan kebohongan (living in the lie). Dalam bahasa Orwellian, wacana dan praksis demokrasi dan demokratisasi dikembangkan mengikuti apa yang diinginkan oleh The Big Brother antara lain dengan pemakaian apa yang disebut wacana baru (newspeak). Maka jika dalam bahasa konvensional demokrasi dan demokratisasi berarti peluang bagi keberbedaan dan kemajemukan, dalam newspeak mereka dipahami sebagai kepatuhan, monoloyalitas, persamaan, kesatuan dan lain sebagainya. Demokrasi tentu saja masih didengungkan dalam wacana tiap hari, terutama dalam forum-forum publik yang formal. Kebhinnekaan sebagai salah satu esensi demokrasi pun masih tetap dielu-elukan dalam setiap ritual politik dan wacana formal. Namun makna mereka telah sangat berbeda bahkan berlawanan! Tak jauh bedanya dengan berbagai penghalusan (euphemism) yang sering dipergunakan dalam hidup keseharian seperti “diamankan”, “disesuaikan,” “kebijaksanaan,” dll.
Dalam sebuah panggung politik yang didominasi oleh newspeak semacam itu, kemajemukan hanya diakui dan dilegitimasi sejauh ia berada dalam pengawasan atau kontrol negara atau aparat negara. Kemajemukan yang semula merupakan asset sebuah perpolitikan demokratis kemudian dimaknai sebagai sebuah liability yang harus dihindari. Maka diciptakanlah sebuah tandingan baru yaitu wacana tentang “kesatuan” yang diperhadapkan dengan kebhinnekaan. Atas nama “kesatuan” itulah seluruh wacana dan praksis yang dianggap memberi peluang kepada kemajemukan akan dicoba dibatasi, dicurigai dan bahkan kalau perlu dianggap sebagai lawan! Ia akan dengan mudah dicap sebagai bibit dari disintegrasi, sumber konflik dan mengembangkannya akan membawa ke arah sikap subversi! Kesatuan, sebaliknya, adalah sebuah keutamaan (virtue) yang tidak dapat diganggu gugat, apalagi dikritisi. Sebab ia mengacu kepada sebuah gagasan milenarian semacam “manunggaling kawulo lan Gusti,” kesatuan antara “rakyat” dan “penguasa,” dan utopia negara integralistik!
 
II
Manakala rezim otoriter mengalami krisis dan kemudian kehilangan legitimasinya, terkuaklah seluruh kepalsuan dan kebohongan yang selama ini menjadi dan dianggap sebagai kebenaran. Dan bermunculan serta maraklah berbagai letupan sebagai ekspresi dari akumulasi kekecewaan, kemarahan, kebingungan, dlsb yang telah sekian lama menggumpal namun tak kunjung mendapat jalan keluar. Kesenjangan ekonomi, kecemburuan sosial, penindasan hak-hak politik warganegara, jurang yang kian melebar antara si kaya dan miskin, ekstraksi sumberdaya alam yang tak terkontrol, represi budaya local atas nama uniformitas budaya nasional, dst. seolah-olah rumput-rumput kering yang tersebar di seantero nusantara yang siap menunggu disulut. Kejatuhan rezim yang kemudian tak terelakkan lagi menjadi pemicu paling dahsyat, berupa kekerasan politik yang berkepanjangan di tanah air. Apa yang kemudian kita saksikan dalam berbagai tayangan di media elektronik dan laporan-laporan jurnalistik di media cetak yang kemudian menyebar keseluruh dunia tentang berbagai peristiwa berdarah-darah di bumi Maluku, Papua, Kalimantan, Sulawesi dll. tak lain adalah buah dari kepalsuan yang dipertahankan dengan kekuasaan selama ini.
Dari peristiwa yang menyedihkan itu, segera menjadi jelas bahwa kemampuan kita sebagai bangsa untuk mengatasi krisis ternyata amat ringkih. Ibarat badan yang daya tahan untuk menolak penyakit sangat lemah, kendatipun dari penampilan luar kelihatan segar bugar namun dengan mudah tersungkur ketika virus penyakit menyerang. Bangsa Indonesia yang selama rezim Orba mengklaim telah mencapai tingkat kemakmuran dan perkembangan ekonomi yang tinggi sebagai hasil dari pembangunan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang lama, ternyata begitu rentan terhadap sebuah krisis ekonomi yang asal muasalnya datang dari luar. Ketika negara-negara yang menjadi tempat awal munculnya krisis tersebut telah berhasil melakukan recovery, bukan saja kita masih belum mengatasinya, tetapi justru makin marak karena, bagaikan kanker yang tak terkendali, mulai menggerogoti sendi-sendi utama negara-bangsa ini. Keutuhan dan integritas sebuah negara bangsa yang diperjuangkan dengan susuah payah oleh para pendiri bangsa ini, tak pelak lagi, sedang dipertaruhkan.
Mengapa kondisi semacam ini justru berkembang ketika kita telah mengisi kemerdekaan dengan pembangunan? Jawabnya bisa berbagai. Salah satunya adalah karena sebagai bangsa, proses pembangunan yang terjadi telah dengan sengaja mengingkari jatidirinya. Ketika model pembangunan yang diikuti tidak didasari oleh visi emansipasi dan pemberdayaan rakyat, ketika itulah pembangunan telah mengalami distorsi arah dan tujuannya. Pembangunan, baik ekonomi, politik, social, dan budaya, bergerak ke arah pemenuhan tujuan-tujuan pragmatis: pengekalan kekuasaan dan kepentingan sekelompok elite. Dari visi seperti inilah berbagai strategi dan program pembangunan ekonomi dan politik dikembangkan yang hasilnya adalh berbagai paradoks seperti telah kita rasakan selama ini; dibalik keberhasilan mengatrol pertumbuhan ekonomi, kita mengalami proses pemiskinan struktural akibat kesenjangan distribusi pendapatan; dibalik keberhasilan mendongkrak devisa negara melalui ekstraksi sumberdaya alam, kita mengalami perusakan lingkungan yang luar biasa baik dalam kuantitas maupun kualitas; dibalik meningkatnya jumlah kaum terdidik, ternyata kualitas SDM kita setiap tahun mengalami kemerosotan dibandingkan dengan negara dan bangsa yang berkembang. Daftar paradoks itu masih bisa panjang.
Namun yang paling memprihatinkan dari semua itu adalah gejala semakin melemah dan rentannya ikatan yang selama ini menjadi raison d’etre dari keberadaan sebagai bangsa: membangun sistem demokrasi yang kuat (strong democracy) sebagai pilar utama keberlanjutan negara-bangsa. Jika pada masa-masa awal perkembangan republik ini langkah-langkah membangun demokrasi yang kuat ini tersendat-sendat dan banyak rintangan karena belum cukup pengalaman dan masih kuatnya gangguan internal dan eksternal, maka alasan- alasan tersebut tidak relevan lagi ketika bangsa ini telah cukup berpengalaman dan mendapat peluang sangat besar di bawah Orba. Namun karena rezim tersebut telah dengan sengaja meninggalkan pronsip-prinsip dasar dan paradigma demokratisasi, maka momentum bagi pengembangan demokrasi yang kuat telah hilang dan, sebaliknya, berubah menjadi bercokolnya sistem otoritarian!
Tumbangnya Orba membuka kembali momentum bagi terbangunnya sebuah sistem demokrasi yang kuat di negeri ini, meskipun situasi yang ada kurang mendukung. Namun pilihan selain itu tidak akan kita ambil sebab ia berarti kembalinya kenestapaan bagi rakyat dan semakin terpuruknya Indonesia ini di dalam percaturan kehidupan berbangsa di masa depan. Justru dengan pengalaman pahit dan krisis yang masih belum seluruhnya teratasi ini perlu ditemukan terobosan-terobosan kreatif menuju suatu transformasi fundamental dalam seluruh dimenssi kehidupan bangsa, khususnya di dalam pengembangan dan pelanjutan demokratisasi. Dalam rangka mencari terobosan baru dan transformasi fundamental itulah suatu paradigma yang tepat harus ditemukan. Bagi saya pribadi, hal ini tak lain dan tak bukan adalah menjadikan paradigma kewarganegaraan (citizenship) sebagai landasan sistem demokrasi yang kuat di negeri ini.
 
III
Sebagaimana telah sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan, paradigma kewarganegaraan sebagai landasan dari sistem demokrasi yang kuat tegak di atas beberapa prinsip dasar. Antara lain adalah prinsip kesamaan atau kesederajatan (equality) sebagai warganegara dalam sebuah lingkup komunitas politik. Prinsip yang selanjutnya adalah hubungan dialektis dan aktif yang diikat oleh kesadaran dan aktivitas yang sama melalui keterlibatan dalam ruang politik, atau dapat disebut dengan prinsip partisipatif. Prinsip lainnya adalah kesantunan (civility) baik dalam wacana maupun praksis politik, dan prinsip yang terakhir adalah kerjasama (cooperative) antar warganegara sebagai anggota komunitas politik, baik dalam tataran mikro maupun makro. Dengan adanya prinsip kesantunan, maka kesadaran akan adanya kesederajatan mendapatkan momentumnya dalam kenyataan, sehingga ketika warganegara melakukan transaksi politik mereka tidak terjebak kepada penggunaan kekerasan atau pemaksaan kehendak.
Paradigma kewarganegaraan ini jelas dapat menjadi akar yang kokoh bagi sebuah upaya pengembangan dan pelanjutan demokrasi sesuai dengan jati diri bangsa yang pluralistik. Apalagi dalam konteks transisi pasca reformasi yang ditandai dengan ketidak pastian dan kegamangan dalam proses konsolidasi kekuatan-kekuatan demokratis. Dalam situasi seperti ini diperlukan adanya suatu pijakan yang kokoh agar konsolidasi demokrasi dapt berlanjut kendatipun secara gradual. Sebab bila kegamangan dan ketidakpastian ini terus menerus berjalan, bukan tidak mungkin kekuatan anti demokrasi pelan tapi pasti akan berhasil melakukan pemulihan (recovery) dan pengaktifan diri. Tanda-tanda ke arah itu sudah kelihatan dalam berbagai manifestasinya. Perpolitikan kita yang kembali menyaksikan munculnya gejala keterasingan antara pemilih dan wakil rakyat di lembaga perwakilan, mengakibatkan munculnya letargi dan aptisme politik di kalangan lapis bawah. Ujung-ujungnya, ketidakpercayaan rakyat terhadap para wakil mereka di DPR/D juga semakin menunjukkan tanda-tanda meningkat seperti yang kita lihat dalam berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh media massa.
Lebih jauh, dalam kondisi transisi yang masih belum jelas siapa yang akan memenangkan pertarungan maka sangat diperlukan apa yang oleh Antonio Gramsci disebut historical bloc. Historical bloc atau mungkin dapat diterjemahkan dengan pengelompokan kesejarahan ini adalah kekuatan kolektif yang akan menjadi pendorong bagi munculnya alternatif baru yang menggantikan dominasi dan hegemoni kekuatan lama. Dalam konteks transisi menuju demokrasi historical bloc ini harus dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil (civil society) yang memiliki kekuatan untuk melakukan konsolidasi ke dalam maupun ke luar. Ikatan yang mempersatukan mereka tentulah adanya visi dan spirit demokrasi yang benar-benar inklusif. Jika kita menegok ke belakang, maka ketika kaum muda sepakat untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda yang menjadi cikal-bakal bagi terbangunnya sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community) bernama Indonesia, saya kira di sanalah sebuah historical bloc telah terwujud.
Kendati dalam kondisi dan tantangan yang berbeda, menurut hemat saya pada konjungtur saat ini diperlukan semacam historical bloc menuju terbentuknya sebuah sistem demokrasi yang kuat, yang diikat dengan paradigma kewarganegaraan di atas. Tentu saja proses dan dinamika serta hasil (outcome) yang akan muncul akan sangat berbeda antara apa yang terjadi pada awal abad keduapuluh dan awal abad ke duapuluh satu. Namun demikian tugas dari komponen-komponen pro demokrasi dalam masyarakat sipil di Indonesia kurang lebih memiliki kesamaan, yaitu diperlukannya suatu kekuatan kolektif yang sanggup melahirkan alternatif baru agar supaya kesinambungan dan survival bangsa ini dapat dipertahankan.
Persoalannya adalah, sejauhmanakah elemen-elemen masyarakat sipil yang dapat menjadi kekuatan demokrasi di negeri ini memiliki baik kesadaran maupun kekuatan untuk membangun bloc seperti itu? Jika kita melihat realitas dalam masyarakat sipil selama dua atau tiga tahun terakhir, maka kita mungkin pesimis karena masyarakat sipil Indonesia sedang mengalami proses pembusukan di dalam yang disebabkan terutama oleh berkembangnya politik identitas dan terabaikannya prinsip-prinsip demokrasi, seperti kesantunan dan kerjasama. Malahan orang dapat dengan mudah mengatakan bahwa upaya membentuk suatu historical bloc akan sia-sia manakala kita tengarai tergusurnya trust (kepercayaan) dalam hubungan-hubungan sosial pada akhir-akhir ini. Padahal trust adalah bahan dasar bagi dimungkinkannya suatu upaya membangun kembali kekuatan-kekuatan yang terceraiberai dan lemah itu agar menjadi kekuatan yang sinergis dan utuh!
Kendati demikian, saya kira kita tak dapat berpangku tangan belaka menyaksikan proses keterpurukan bangsa ini terjadi di depan mata kita. Apapun alasannya, kita tetap memiliki kewajiban moral sebagai pewaris amanat para pendiri bangsa untuk melanjutkan pekerjaan rumah yang masih terbengkalai, yaitu membangun landasan demokrasi yang kuat. Sikap menunggu dan menyesali apa yang sudah terjadi jelas akan berdampak negatif, karena kerusakan yang lebih parah akan terjadi. Jika kita sepakat bahwa paradigma kewarganegaraan dapat dipakai sebagai landasan demokratisasi, maka pluralisme sebagai jatidiri haruslah kita mengerti sebagai sumber kekuatan dan bukan sebagai liability. Kemajemukan, baik etnis, agama, bahasa, ras, gender, budaya dsb. harus ditempatkan sebagai motor dalam merevitalisasi kehidupan dalam setiap level. Kita harus membiasakan merayakan kemajemukan dan perbedaan sambil melakukan pencarian-pencarian titik-titik temu secara kritis dan kreatif. Oleh sebab itu, strategi pengelolaan kemajemukan meniscayakan ditinggalkannya pendekatan lama seperti yang diterapkan para pioneer Amerika, yaitu adanya sebuah ideologi atau kultur dominan yang harus menjadi rujukan utama. Dalam hal ini, tentu saja kultur dominan “Judeo-christian, white, anglosaxon” atau kadang disebut WASP (white, anglosaxon, protestant). Pendekatan yang kini banyak dikritik karena menafikan otonomi budaya dan cenderung melegitimasi rasisme, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, itu kini dengan multiculturalism yang lebih mampu memberi ruang kepada yang lain (others) sebagai entitas otonom, namun masih dalam lingkup kesadaran berbangsa satu.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, strategi multikulturalisme harus dikembangkan untuk memperkuat komitmen kewarganegaraan berikut prinsip-prinsip dasarnya. Sampai saat ini, strategi yang dipergunakan baik secara transparan maupun tersembunyi masih berat kepada model ideologi dominan, sehingga sering menimbulkan kecemburuan sosial dan kerawanan politik. Munculnya kecenderungan xenofobi dalam wacana dan praksis otonomi daerah akhir-akhir ini menurut hemat saya adalah merupakan respon terhadap kecenderungan dominasi kultural yang selama beberapa dasawarsa terjadi. Paradigma kewarganegaraan yang berprinsip kesederajatan, partisipasi, kesantunan, dan kerjasama jelas tidak akan dapt berkembang dalam suatu lingkungan budaya xenofobis seperti itu!.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar